Dalam sebuah hadis yang cukup
populer di kalangan kaum Sufi dinyatakan bahwa:
“Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah”,
(Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh
mengenal Tuhannya). Hadis populer ini
mengisyaratkan bahwa pengenalan diri merupakan
suatu yang penting dilakukan, karena dengan
pengenalan diri berarti membuka sambungan untuk
mengenal Tuhan. Pengenalan diri dapat dilakukan
dengan melakukan tiga tahapan penyempurnaan diri
yang di dalam tasawuf dinamakan takhalli, tahalli,
dan tajalli.
Tahapan pertama
takhalli. Perkataan takhalli secara bahasa
berarti proses pengosongan. Istilah ini di dalam
tasawuf mengandung penegertian mengosongkan diri
dari berbagai penyakit hati. Pengosongan diri
mengandung arti pembersihan dan penyempurnaan diri
atau jiwa kita. Ada beberapa tahap pembersihan
diri dan penyempurnaannya. Pertama, membersihakan
diri dengan memurnikan keyakinan dari kemusyrikan,
yakni tindakan, perkataan, dan keyakinan yang
menjurus kepada menyekutukan Allah. Semua orang
yang benar-benar beriman kepada Allah, beramal
saleh, dan membenarkan para Rasul, menurut ‘Abd
al-Fattah ‘Abd Allah, barakah termasuk ke dalam
kelompok ahl al-tawhid (orang yang bertauhid).
Dengan memurnikan keyakinan dari kemusyrikan
berarti memurnikan tauhid kepada Allah, dan dengan
demikian ahl al-tawhid memperoleh anwar
al-mahabbah (cahaya cinta) yang disebabkan oleh
tauhidnya kepada Allah; namun, jiwanya masih tetap
dikuasai oleh berbagai dorongan rendah.
Kedua,
membersihkan diri dengan menyembuhkan berbagai
penyakit hati yang di dalam tasawuf dinamakan
tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa). Pembersihan
diri dari berbagai penyakit kalbu harus berpangkal
dari adanya kesadaran bahwa suasana keruhaniahan
kita diselimuti oleh dosa-dosa dan maksiat yang
melekat pada diri kita, serta ada kesungguhan
untuk membersihkannya. Di antara amaliah
ketasawufan yang tergolong ke dalam tahapan
takhalli adalah: Taubat secara benar dan
konsisten; memperbanyak membaca istihgfar dengan
menghayati maknanya secara mendalam; serta
memperbanyak berddzikir kepada Allah baik secara
lisan maupun secara khafi (tersembunyi) di dalam
kalbu.
Tahapan kedua, tahalli.
Perkataan tahalli secara bahasa berarti proses
menghiasi atau memperindah sesuatu. Adapun yang
dimaksud dengan tahalli dalam tasawuf adalah
menghiasi atau memperindah jiwa kita dengan
kesucian. Dari jiwa atau hati yang suci akan
memancar akhlak mulia, dalam hubungan dengan
Allah, maupun dalam hubungan dengan sesama manusia
dan alam semesta. Ada beberapa hal penting yang
perlu dibiasakan di dalam hidup agar kita dapat
melakukan tahalli yakni menghiasi atau memperindah
diri, jiwa, atau hati dengan upaya-upaya sebagai
berikut:
Pertama, melatih diri untuk
merasakan kefakiran. Istilah kefakiran merupakan
istilah Al-Qur`an. Perkataan fakir atau kefakiran
berasal dari kata kerja di dalam bahasa Arab
faqara yang berarti: membutuhkan. Dari kata kerja
faqara kemudian terbentuk kata sifat faqir dalam
bentuk tunggal yang berarti seorang yang
membutuhkan, dan fuqara` dalam bentuk jamak yang
berarti orang-orang yang membutuhkan. Istilah ini
di dalam Al-Qur`an digunakan dalam dua katagori,
katagori ekonomi dan katagori eksistensial. Secara
ekonomi istilah faqir atau fuqara mengandung
pengertian seorang atau sekelompok orang yang
penghasilan hariannya tidak mencukupi kebutuhan
fisik minimumnya. Oleh karena itu lapisan
masyarakat yang tergolong faqir atau fuqara
membutuhkan bantuan finansial, modal usaha, atau
keterampilan kerja untuk mengembangkan tarap
hidupnya yang wajar. Kaum Muslimin yang tergolong
faqir atau fuqara ini berhak menerima zakat,
infaq, dan shadaqah dari sesama kaum Muslimin yang
mampu sebagai bentuk solidaritas sosial di antara
saudara seiman.
Sementara itu istilah faqir
atau fuqara dilihat dari eksistensi manusia di
hadapan Allah mengandung pengertian bahwa manusia
secara universal membutuhkan Allah. Pada
hakekatnya tidak ada seorang atau sesuatu pun di
antara makhluk Tuhan ini yang tidak membutuhkan
Allah. Keberadaannya sangat tergantung kepada
eksistensi Allah. Manusia membutuhkan kasih
sayang, rahmat, pertolongan, perhatian, bimbingan,
petunjuk, ampunan, kerelaan, cinta, dan kedekatan
kepada Allah. Faqir atau fuqara dalam pengertian
ini ditegaskan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Wahai seluruh umat manusia, kalian membutuhkan
Allah; sedangkan Allah, Dia itu Maha Kaya lagi
Maha Terpuji”. (Q.S. Fâthir: 15)
Ketika para
sufi mengembangkan gaya hidup yang penuh dengan
kefakiran; maka yang dimksud bukanlah kefakiran
dalam katagori sosial ekonomi, melainkan kefakiran
secara eksistensial. Mereka mengajak kaum Muslimin
untuk menyadari eksistensi diri kita sebagai hamba
dalam berhubungan dengan Allah, Sang Maha
Pencipta. Dengan mengembangkan kesadaran
kefakiran, maka akan tertolak di dalam diri kita
perasaan istaghna merasa cukup dengan akal budi,
kecerdasan, pengalaman, intuisi, dan materi,
pangkat, wibawa, kharisma, pengaruh, dan jabatan
yang sudah dimiliki sehingga tidak membutuhkan dan
tidak perlu melibatkan Tuhan dalam kehidupan ini.
Manusia yang bersikap istaghna terhadap Allah
dikecam oleh Al-Qur`an sebagai berikut: “Adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup
serta mendustakan pahala yang baik; maka kelak
Kami (Allah) akan menyiapkan baginya kehidupan
yang sukar”. (Q.S. 92: 8-10) “Ketahuilah,
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas;
karena dia memandang dirinya serba cukup
Sesungguhnya hanya kepada Allah, Tuhanmu, kamu
akan mudik (Q.S. 96: 6-8)
Kedua,
melatih diri untuk merasakan, memupuk, dan
mengembangkan kesabaran. Perkataan shabr dalam
Al-Qur`an mengandung pengertian: keteguhan hati,
kekokohan mental, keuletan, dan daya tahan yang
tangguh. Shabr termasuk mentalitas para utusan
Allah (Q.S. 46: 35). Orang-orang beriman dipesan
agar memiliki mental shabr sebagaimana para Rasul
Allah (Q.S. 3: 200) serta dipesan untuk saling
mewasiatkan kepada kesabaran. (Q.S. 90: 17 dan
Q.S. 103: 3). Sebab kesabaran itu indah (Q.S.
12:18 dan 83). Shabr pun merupakan media untuk
memperoleh pertolongan Allah dan merasakan
kekhusyuan dalam shalat. (Q.S. 2: 45 dan
153).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (w.
1166 M./561 H.) membagi shabr dalam tiga
tingkatan: Pertama, shabr untuk Allah, yakni
keteguhan hati dan kekuatan mental dalam
melaksanakan segala perintah Allah dan dalam
menjauhi segala larangan. Kedua, shabr bersama
Allah, yaitu keteguhan hati dan kekuatan mental di
dalam menerima kesagala ketentuan Allah yang
diberlakukan kepada hamba-hamba-Nya. Ketiga,
kesabaran atas Allah, yaitu keteguhan hati dan
kekuatan mental terhadap apa yang dijanjikan
Allah, berupa rizki, kelapangan, kecukupan,
pertolongan, yang akan diberikan Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang saleh di dunia dan
akhirat.
Kesabaran merupakan kunci kesuksesan.
Untuk meraih karunia Allah yang besar, mendekatkan
diri kepada-Nya, memperoleh kedudukan terhormat di
sisi-Nya, meraih cinta-Nya, dan mengenal-Nya
secara mendalam, bahkan merasakan bersatu
bersama-Nya hanya dapat diraih melalui kesuksesan
dalam maqâm shabr. Nabi bersabda: “Seorang hamba
Allah tidak akan memperoleh suatu kebahagiaan,
sebelum harta dan fisiknya diuji. Sebab Allah jika
mencintai seorang hamba akan mengujinya dengan
berbagai cobaan. Sebab itu jika Allah menguji
betrsabarlah” (H.R.
Tirmidzi)
Ketiga, merasakan kematian
sebelum datangnya kematian. Hal ini bisa kita
renungkan dari hadis qudsi yang memaparkan firman
Allah kepada Nabi Daud sebagai berikut: “Apabila
hambaku dikusai oleh kerinduan kepadaku dan
menyibukkan hatinya dengan diri-Ku, maka Aku
jadikan ketenteraman dan kenikmatannya dalam
berddzikir kepada-Ku. Aku pun akan menjadikan dia
senantiasa dalam kerinduan kepada-Ku. Aku akan
mengangkat tirai yang menghalangi Aku dengan dia.
Aku mencinatai dia dan dia mencintai-ku sehingga
dia tidak pernah alpa ketika semua manusia alpa,
dia tidak pernah lupa ketika semua manusia lupa,
dia tidak pernah tergelincir ketika semua manusia
tergelincir. Itulah orang-orang saleh yang
sebenarnya”.
Tahapan ketiga,
tajalli. Perkataan tajalli secara bahasa
berarti proses penampakan. Adapun yang dimaksud
tajalli di dalam tasawuf tiada lain adalah
memancarnya sifat-sifat Allah yang terkandung di
dalam Asma` al-Husna pada diri seorang hamba yang
diperoleh setelah seorang merasakan cinta yang
mendalam kepada Allah dan mengenal-Nya dengan
pandangan hati, bukan dengan akal budhi dan
pandangan lahir. Mahabbah dan ma’rifah dua hal
yang bisa diperoleh setelah kalbu benar-benar
dibersihkan dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa
kecil serta menghiasinya dengan akhlak terpuji
secara istiqamah.
Sifat dan Af ‘al
Allah
Sifat dan perbuatan atau af‘al Allah
terangkun di dalam Asma` al-Husna yakni nama-nama
Allah yang indah. Asma` al-Husna atau nama-nama
Allah yang indah dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, kelompok nama-nama Allah yang
menggambarkan kelembutan, kesantunan, cinta dan
kasih sayang. Kelompok nama-nama Allah yang
demikian dinamakan sifat-sifat Jamâliyyah Allah.
Para peneliti tasawuf seperti Suchiko Murata
memahami sifat-sifat Jamâliyyah Allah sebagai
sifat feminin yang senantiasa memancarkan
kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Kedua,
kelompok nama-nama Allah yang menggambarkan
kegagahan, kekuatan, dan keperkasaan. Kelompok
nama-nama Allah yang demikian dinamakan
sifat-sifat Jalaliyyah Allah. Suchiko Murata
memahami sifat-sifat Jalaliyyah Allah sebagai
sifat maskulin yang senantiasa memancarkan
kekuatan, keteguhan, keadilan, hukuman, dan
keperkasaan. Kedua kelompok sifat Allah yang
tercermin di dalam Asma` al-Husna ini tidak saling
bertentangan atau kontradiktif, tetapi terpadu
secara simponi dalam kesempurnaan Allah yang
tercermin pada sifat Kamaliyyah Allah.
Dari sembilan puluh sembilan Asma`
al-Husna yang disebut di dalam Al-Qur`an tujuh
puluh dua nama menggambarkan sifat-sifat
kelembutan, cinta, dan kasih sayang Allah yang
termasuk ke dalam kelompok sifat-sifat Jamaliyyah
Allah; sedangkan yang tergolong ke dalam kelompok
yang menggambarkan kegagahan, kekuatan, dan
keperkasaan Allah hanya dua puluh tujuh sifat yang
dinamakan sifat-sifat Jalaliyyah Allah. Komposisi
Asma` al-Husna yang lebih banyak menggambarkan
sifat-sifat feminin Allah, menurut hemat penulis,
menggambarkan bahwa kasih sayang Allah mendahului
murka-Nya sebagaimana disebutkan di dalam hadis
qudsi “sabaqat ghadlabi rahmati” (rahmat-Ku
mendahului murka-Ku).
Berkenaan dengan Allah
dan nama-nama Allah atau Asma` al-Husna Rasulullah
saw. mengingatkan kaum Muslimin dengan sabda
beliau: “takhallaqû bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah
kalian dengan akhlak Allah). Sabda Rasulullah saw.
ini mengandung beberapa pelajaran yang sangat
berharga berkenaan dengan cara kita merespon sifat
dan perbuatan Allah. Pertama, sebaiknya kita
senantiasa menyebut dan memanggil Tuhan dengan
Asma` al-Husna, baik yang tergolong ke dalam sifat
Jamaliyyah maupun yang tergolong ke dalam sifat
Jalâliyyah. Kedua kelompok Asma` al-Husna ini
perlu dijadikan wirid ddzikir dan doa dalam
kehidupan kita sehari-hari agar sifat-sifat Allah
tersebut dapat diserap oleh quwwat al-dzawqiyyah
(kecerdasan emosi) dan quwwat al-ruhiyyah
(kecerdasan spiritual) kita.
Kedua, orang
beriman yang sering menyebut dan memanggil Tuhan
melalui Asma` al-Husna diharapkan dapat
mengidentikan diri dan menyesuaikan sifat dan
karakteristiknya dengan sifat dan karakter Tuhan.
Apabila proses internalisasi nama-nama Allah sudah
masuk ke dalam kesadaran seorang hamba, maka
sifat, karakter, dan perbuatan hamba tersebut akan
mencerminkan akhlak Allah. Bagi orang beriman,
Allah dapat menjadi teladan dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan dalam menyikapi berbagai
persoalan kemanusiaan yang terkadang membingungkan
dan penuh tanda tanya besar.
Hal ini tidak
berarti bahwa manusia dapat menirukan sifat dan
perbuatan Allah secara penuh dan total sehingga
sifat dan perbuatannya sama sebangun dengan sifat
dan perbuatan Allah. Ada beberapa persoalan
mendasar yang perlu dipahami dengan
sebaik-baiknya.
Pertama, Allah memiliki
sifat Kamaliyyah yakni kemaha sempurnaan,
sedangkan manusia memiliki sifat kekuarangan. Oleh
karena itu, suatu hal yang mustahil secara aqli,
manusia dapat menirukan sifat dan perbuatan Allah
secara penuh dan total.
Kedua, manusia
memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif
dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain dalam
hal kemampuan dan kesiapan (al-isti‘dad) untuk
mengidentikan diri dan menyesuaikan sifat dan
karakteristiknya dengan sifat dan karakter Allah.
Ketiga, manusia memiliki kemampuan
untuk menyempurnakan secara terus menerus proses
internalisasi kalimat Allah di dalam dirinya,
mengidentikan diri dan menyesuaikan sifat dan
karakteristiknya dengan sifat dan karakter Allah.
Dengan demikian, maka perjalanan ruhani setiap
orang yang beriman, berilmu, dan beramal akan
mengalami takammulat, yakni proses terus menerus
menuju kepada kesempurnaan sepanjang hidupnya.
Keempat, manusia yang satu dengan
manusia yang lain memiliki sifat tafâdhul, yakni
kelebihan-kelebihan tersendiri sehingga
memungkinkan terjadinya kompetisi dalam menyerap
dan menirukan sifat dan perbuatan Allah.
Kelima, kemampuan dan kesiapan
(al-isti‘dad), takammulat, yakni proses terus
menerus menuju kepada kesempurnaan, serta
kompetisi dalam menyerap dan menirukan sifat dan
perbuatan Allah tergantung kepada kualitas kalbu
setiap orang beriman. Apabila seorang memperbaiki
kualitas iman, memperbaiki kualitas amal,
meningkatkan kualitas komunikasinya dengan Allah,
meningkatkan kualitas pelayanan dan kualitas
silaturahmi kepada sesama manusia, serta melakukan
tahapan-tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli
dengan sebaik-baiknya, maka kalbu orang itu akan
menjadi putih, bersih, jernih, bening, dan
bercahaya sehinga lebih banyak meyerap sifat dan
perbuatan Allah, memahaminya secara mendalam, dan
memantulkan kemabali sifat dan perbuatan Alah di
dalam sikap dan perilakunya kepada sesama umat
manusia.
Aplikasi Sifat dan Af ‘al Allah
dalam Kehidupan
Sifat dan perbuatan Allah
terpadu secara simponi di dalam al-Asma` al-Husna
(nama-nama-Nya yang indah) sebagaimana telah
disebutkan di atas. Manusia banyak yang namanya
indah, tetapi sifat dan perbuatannya tidak
mencerminkan keindahan namanya. Seorang yang
bernama Hasan (baik atau indah), tidak selalu
memiliki sifat dan perbuatan yang baik atau indah.
Lain halnya dengan Allah. Dia Tuhan yang bernama
dan bersifat al-Rahman (Yang Maha Pengasih), maka
perbuatan-Nya adalah mengasihani seluruh
makhluk-Nya dengan kasih sayang yang sempurna.
Allah senantiasa memberikan kepada manusia apa
yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya sebelum
manusia mampu mengajukan permohonan kepada Allah,
bahkan jauh sebelum manusia dapat menyusun daftar
kebutuhan di dalam hidupnya. Allah memberikan
hidup kepada manusia dengan cuma-cuma, sebelum
manusia mengetahui indahnya hidup. Allah membekali
hidup manusia dengan berbagai fasilitas yang
sangat berharga.
Pertama, Allah membekali
hidup manusia dengan quwwah al-fikriyyah, yakni
kekuatan, kemampuan atau kecerdasan untuk berfikir
yang di dalam istilah psikologi disebut kecerdasan
intelek (IQ) sehingga manusia dapat mengembangkan
pengetahuan tentang kehidupan di sekitarnya.
Manusia dapat mengenal dirinya, lingkungannya,
alam semesta, dan jagat raya. Hidup manusia dengan
kecerdasan yang dimilikinya dan dikembangkan
secara terus menerus melalui pendidikan,
pelatihan, dan pengalaman menjadi mudah karena
pengenalannya terhadap alam dan lingkungan
hidupnya.
Kedua, Allah membekali hidup
manusia dengan quwwah al-dzawqiyyah yang di dalam
istilah psikologi disebut kecerdasan emosi (EQ)
yakni kekuatan, potensi atau kemampuan untuk
mengembangkan rasaning rasa kemanusiaan yakni
kepekaan dan kesadaran tentang dirinya sebagai
hamba Allah; kepekaan dan kesadaran tentang
dirinya sebagai makhluk sosial; serta kepekaan dan
kesadaran tentang vissi dan missi hidupnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi.
Ketiga, Allah
membekali hidup manusia dengan quwwah al-ruhiyyah
yang di dalam istilah psikologi disebut kecerdasan
spiritual (SQ) yakni kekuatan, potensi atau
kemampuan untuk merasakan dan menghayati
jejak-jejak Tuhan di dalam hidup ini. Manusis
memilikik modal, potensi, dan kemampuan untuk
berhubungan secara langsung, personal, dan spesial
dengan Tuhan. Kekuatan ruhaniah yang ada di dalam
dirinya dapat dikembangkan untuk menghayati dan
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan kita
sehari-hari. Di dalam Surat al-Anfal ayat 2
dinyatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang percaya
kepada Allah, apabila Allah atau nama-nama Allah
disebut, maka kalbunya gemetar karena merasakan
kedekatan Allah dengan manusia dan menghayati
kehadiran-Nya di dalam kehidupan ini. Apabila
ayat-ayat Allah dibacakan, maka keimanannya kepada
Allah bertambah kuat. Demikian juga pegangannya
kepada Allah di dalam hidup ini bertambah
kokoh”.
Dia Tuhan yang bernama dan bersifat
al-Sattar (Yang Maha Menutupi), maka perbuatan-Nya
adalah menutupi aib seluruh makhluk-Nya dengan
cara yang sempurna. Ada beberapa contoh perbuatan
Allah yang sengaja menutupi berbagai keadaan di
dalam diri manusia sehingga manusia merasakan
kenikmatan dan kenyamanan di dalam hidupnya.
Pertama, Allah sengaja menjadikan kulit manusia
tidak transparan seperti tabung kaca, tetapi
menutupi bagian dalam tubuh kita. Sekiranya kulit
manusia seperti kaca, maka kita dapat melihat
darah yang mengalir pada tubuh kita. Kita pun
dapat melihat berbagai anatomi tubuh dengan jelas
dan menyaksikan bagaimana organ tubuh bagian dalam
bekerja. Isi perut dapat dilihat dengan transparan
Berbagai makanan yang sudah bercampur dan mengalir
didalam usus dapat kita lihat dengan terbuka.
Tentu kita merasa jiji melihat tubuh kita sendiri,
apalagi melihat tubuh orang lain. Kita tidak dapat
bergaul dan bersahabat dengan orang lain, karena
terganggu oleh tubuhnya yang transparan.
Oleh karena itu, perbuatan Allah menutupi
tubuh kita dengan kulit merupakan kenikmatan
tersendiri bagi manusia. Tubuh manusia terlihat
indah karena tertutup oleh kulit yang halus dan
mempesona. Kita mengetahui apa dan bagaimana
bagian dalam tubuh manusia melalui pelajaran ilmu
hayat yang sekarang dinamakan biologi atau melalui
gambar-gambar alat peraga di Fakultas Kedokteran,
tetapi kita tidak dapat melihatnya secara langsung
sehingga pemandangan kita di dalam kehidupan
sehari-hari tidak terganggu. Tidak terbayangkan
apa yang akan terjadi di dalam kehidupan ini, jika
Allah tidak memiliki sifat dan nama al-Sattar yang
pekerjaan-Nya menutupi aib
hamba-hamba-Nya.
Kedua, sengaja Allah
menciptakan mekanisme lupa di dalam diri manusia.
Berbagai memori di dalam hidup manusia disimpan
dengan rapi, tetapi kita tidak dapat mengakses
seluruhnya dengan baik. Banyak pengalaman,
kejadian, dan berbagai peristiwa di dalam hidup
yang tidak dapat diingat kembali dengan sempurna.
Kenyataan ini membawa manfaat yang besar di dalam
hidup manusia. Sekiranya kita dapat mengingat
berbagai peristiwa, pengalaman, dan kejadian di
masa lalu secara keseluruhan dengan lengkap, tentu
hidup kita akan terganggu oleh memori di masa
silam yang tidak menyenangkan. Kita tidak akan
dapat tidur dengan nyenyak. Hidup kita akan
mengalami kegelisahan-kegelisahan yang dahsyat
karena pengalaman pahit yang mengerikan. Manusia
akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Sudah
dapat dipastikan bahwa hal ini merupakan gangguan
kejiawaan yang besar. Secara sosial, hidup dengan
mengakses terhadap seluruh peristiwa, pengalaman,
dan kejadian di masa lalu secara keseluruhan,
terutama pengalaman pahit yang mengerikan, akan
menjadikan hidup ini terasa sempit. Kita tidak
dapat bergaul dengan nyaman, karena terganggu oleh
pengalaman buruk yang dapat diingat dengan
detil.
Allah tidak menghendaki kesulitan di
dalam hidup ini. Oleh karena itu, sengaja Allah
menciptakan mekanisme lupa di dalam diri manusia
dengan menutup memori itu sehingga tidak dapat
diakses seluruhnya. Allah memang al-Sattar (Yang
Maha Menutupi) sehingga manusia merasakan
keindahan dan kenyamanan di dalam hidup ini. Lupa
terhadap seluruh memori merupakan masalah
tersendiri, tetapi dapat mengingat sebagian dan
luapa terhadap sebagian lain merupakan kenikmatan
tersendiri yang sengaja diciptakan Allah untuk
kepentingan hidup manusia.
Ketiga, Allah
sengaja menciptakan suatu ruang di dalam diri
manusia untuk merasahasiakan sesuatu kejadian,
peristiwa, atau pengalaman di dalam hidup yang
tidak pantas diketahui orang lain. Sekiranya Allah
tidak menciptakan tempat yang rahasia dan
tersembunyi di dalam diri manusia, serta tidak ada
ruang yang tertutup, tentu kita kehilangan muka di
depan orang banyak. Semua, dosa, noda, kekurangan,
kecurangan, keculasan, kelicikan, keburukan,
kejahatan, kedengkian, dan berbagai penyakit hati
yang tersembunyi di dalam diri kita dapat
diketahui orang lain dengan transparan. Allah
Sattar al-‘uyub (Dzat Yang Maha Menutupi Aib
hamba-hamba-Nya) dari pandangan manusia sehingga
semua aib itu menjadi persoalan yang sanagt
personal di antara hamba dengan Tuhan. Tidak ada
yang mengetahui rahasia yang tersembunyi di dalam
hati kecuali diri kita sendiri dengan Allah.
Adapun bagi Allah tidak ada satu ruang kecil pun
yang tertutup dari pantauan, pengawasan, dan
pengetahuan-Nya.
Dengan mengucapkan
al-Asma` al-Husna, nama-nama Tuhan yang berjumlah
sembilan sepuluh sembilan; memahami maknanya;
mendalami kandungan filosofinya; merasakan
keindahan asma` Allah, meresapkan pancaran kasih
sayang dan kelembutan-Nya, dan menghayati
kehadiran dan kedekatan-Nya dengan manusia seperti
menghayati sifat al-Rahman dan al-Rahimnya Allah,
maka seorang hamba yang beriman akan lebih
mengenal eksistensi dirinya dalam hubungannya
dengan Tuhan, manusia, dan alam sekitarnya. Ketiga
potensi, kekuatan, kemampuan, atau kecerdasan yang
terpendam di dalam dirinya, yakni quwwah
al-fikriyyah atau kecerdasan intelek (IQ), quwwah
al-dzawqiyyah atau kecerdasan emosi (EQ), dan
quwwah al-ruhiyyah atau kecerdasan spiritual (SQ)
secara garis dapat dikembangkan dan
diaktualisasikan secara terus menerus dengan iman,
ilmu, dan amal, tetapi secara khusus ketiga
kecerdasan tersebut dapat diaktualisasikan dengan
senantiasa ddzikir lisan dan ddzikir kalbu secara
seksama dan simponi di dalam kehidupan
sehari-hari.
Menyadari bahwa perbuatan
Allah tercermin di dalam nama-nama-Nya yang indah
(al-Asma` al-Husna) seperti al-Rahman dan
al-Sattar, menurut hemat penulis, seorang insan
yang beriman tentu akan berusaha merealisasikan
nilai-nilai edukatif dan nilai-nilai filosofis
al-Rahman dan al-Sattar di dalam kehidupan ini. Ia
akan memantulan kasih kepada seluruh ummat manusia
secara universal, tanpa membeda-bedakan agama,
suku bangsa, ideologi, dan status sosial. Demikian
juga dengan menghayati Tuhan al-Sattar, seorang
hamba yang beriman akan berusaha memanfaatkan
kesempatan dan peluang emas kebaikan Allah menutup
aib hamba-hamba-Nya dengan bertobat dari berbagai
dosa dengan tobat nasuha. Pada waktu yang sama ia
pun akan membersihkan berbagai noda dan dosa
akibat penyakit hati yang dideritanya dengan
tindakan yang terencana, terpadu, dan terprogram
dengan baik. Ia pun menyadari bahwa tindakan Tuhan
menutupi aib hamba-hamba-Nya sebagaimana
dipaparkan di atas ada batasnya. Di dalam
Al-Qur`an Allah menyatakan: “Pada hari ketika
semua rahasia manusia dibuka dengan
seluas-luasnya. Pada hari itu bagi manusia tidak
ada kekuatan dan pertolongan (untuk menutupi
rahasia yang memalukannya)”. (Q.S. al-Thariq/86:
9-10) Hal ini terjadi pada hari kiamat, apabila ia
selama hidup di dunia tidak bertobat dari
dosa-dosanya dan tidak membersihakannya dengan
sebaik-baiknya.
Ringkasnya, orang-orang
beriman yang senantiasa mendekatkan diri kepada
Allah dengan memanggil dan menyebut nama Allah
melalui wirid al-Asma` al-Husna secara rutin,
serta diikuti dengan langkah-langkah berikut akan
lebih mengenal dirinya. Pertama, berusaha memahami
dan merasapkan filosofi sifat dan perbuatan Allah
sebagaimana tercermin di dalam al-Asma` al-Husna.
Kedua, melakukan tahapan-tahapan takhalli,
tahalli, dan tajalli dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
terus menerus mengidentikan diri kita dengan sifat
dan karakter Allah dalam kehidupan ini. Keempat,
melakukan evaluasi diri secara kritis dengan
melakukan otokritik yang tajam serta senantiasa
memperbaikinya dengan seksama. Kelima, bersedia
mendengar saran, nasihat, dan kritik siapa pun
tentang diri kita dengan kejujuran. Keenam,
senantiasa meningkatkan komunikasi personal dengan
Allah melalui doa dan munajat di tengah malam.
Maka insya Allah, siapa pun di antara orang
beriman yang melakukan kiat-kiat ini dengan
sebaik-baiknya akan lebih terbuka untuk mengenal
dirinya sekaligus mengenal Tuhannya. Melalui sifat
dan perbuatan Allah sebagaimana tercermin di dalam
al-Asma` al-Husna seorang hamba yang beriman dapat
mengenal dirinya dan meningkatkan kualitas iman
dan amal salehnya kepada sesama umat manusia
dengan sifat dan karakter yang lebih mulia. Wa
Allah a‘lam bi al-shawab.
---(ooo)---
Dr. Asep Usman Ismail, MA Penulis adalah dosen Ilmu Tasawuf pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pengamal Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tinggal di Ciputat
Dr. Asep Usman Ismail, MA Penulis adalah dosen Ilmu Tasawuf pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pengamal Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tinggal di Ciputat
0 comments:
Post a Comment